Oleh: Muhammad Sulaiman, M.Hum
Kata kunci: bentuk dakwah, Amar ma’ruf nahi mungkar, tazkiyah, tilawah, ishlah, tugas nabi, mubaligh, ulul albab, ta’lim, khotbah jumat, materi dakwah
Barangkali cukup banyak di antara kita yang beranggapan bahwa jumlah tenaga dai di Indonesia cukup banyak. Anggapan ini ada benar dan salahnya. Benar, karena tenaga-tenaga da’i di Indonesia, lepas dari kualitas intelektual dan kepribadiannya, memang cukup banyak. Salah, karena jumlah da’i yang memenuhi syarat, pastilah tidak sebanyak yang kita harapkan.
Menurut Endang Saifuddin Anshari dakwah adalah penjabaran, penerjemahan dan pelaksanaan Islam dalam kehidupan. Pengertian dakwah juga dapat dirumuskan sebagai pelaksanaan amanah Allah SWT, baik amanah khilafah maupun amanah ibadah atau realisasi ajaran Islam dalam kehidupan atau juga islhlah yakni perbaikan dan pembangunan masyarakat.
Dengan mendasarkan diri pada Alquran Rahmat, J menyimpulkan empat bentuk dakwah Islam: Tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), Tazkiyah (menyucikan diri mereka), Ta’lim (mengajarkan al-kitab dan al-hikmah) dan Ishlah (melepaskan beban dan belenggu-belenggu manusia). Amar ma’ruf nahi mungkar dapat dimasukkan dalam tazkiyah dan menjelaskan yang halal dan haram, termasuk ta’lim. Yang kita perlukan ialah bagaimana membentuk pola dakwah yang secara aqli dapat dilaksanakan. Dakwah adalah tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah usaha besar yang membentuk peradaban manusia.
Seorang da’i dengan demikian, lebih dari sekedar mubaligh, adalah seorang pejuang yang dengan amat bersungguh-sungguh, mengajak manusia ke jalan Allah dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya. Dalam arti ini tenaga-tenaga da’i di Indonesia sama sekali belum dapat dikatakan cukup banyak. Ada pun da’i yang hanya asal pandai berbicara, berpidato atau berceramah karena memang ada bakat untuk itu, dengan kualitas intelektual dan kepribadian yang patut dipertanyakan memang sangat banyak jumlahnya.
Bagaimanakah idealnya seorang da’i?
Seorang da’i idealnya adalah seorang ulul albab. Tanda-tanda ulul albab, seperti yang dikemukakan dalam Alquran, ada enam. Pertama: Bersungguh-sungguh mencari ilmu. Kedua: Mereka memiliki hikmah, kebijaksanaan dan pengetahuan. Ketiga: Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang. Keempat: Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain. Kelima: Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakantnya, bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat, diancamnya masyarakat, diperingatkannya mereka kalau terjadi ketimpangan dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan, dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat. Keenam: Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Ulul-albab adalah sama denga intelektual plus ketakwaan, interlektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat dengan Allah SWT (Rahmat, 1986). Da’i seyogyannya termasuk ulul-albab.
Selain jumlah da’i bermutu yang masih sedikit, menurut Drs. H. Ibnu Djarir (Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang) manajemen dakwah kita masih lemah. Sehingga perencanaan dakwah kita pada umunya kurang matang, penggunaan sumber daya kurang efisien dan belum ada badan koordinasi dakwah yang cukup berwibawa. Alat-alat dakwah kita, yang menurut Endang Saifuddin Anshari meliputi: Organisasi, dana, tempat, bahasa dan media memang terasa masih lemah.
Para da’i kita tampaknya memang belum mau bergabung untuk mewujudkan organisasi-oraganisasi yang profesional denga program-program kerja yang terarah dan terpadu. Mereka lebih suka berjalan, bergerak atau bekerja sendiri-sendiri. Agaknya fakto-faktor semacam kesombongan dan ketidakmampuan menjalin jadi kendala utama bagi para da’i untuk berorganisasi.
Da’i-da’i kita juga masih banyak yang menunjukkan sikap konservatif dan kurang simpatik terhadap mas media. Mereka suka membanding-bandingkan majalah dengan kitab kuning misalnya, denagn maksud merendahkan dan meremehkan peranan majalah. Sungguh ironis sekali. Barangkali inilah salah satu sebabnya mengapa hingga hari ini kita masih belum memiliki media massa, koran atau majalah, yang benar-benar berwibawa.
Secara institusional, mungkin harus sudah mulai dipikirkan menyalurkan dana kaum Muslimin infaq, zakat, shadaqah, waqaf dan sebagainnya, untuk kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menggunakan uang untuk pengembangan sistem informasi mungkin lebih bernilai dari pada mengulangi naik haji yang melulu ritual dan mungkin hanya demi kepuasaan pribadi. Para da’i memang fasih dan lancar berbicara tentang kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Tetapi mereka menjadi tak berdaya kalau sudah dihadapkan pada upaya-upaya konkret atau praktis untuk mengatasi masalah-masalah itu. Dalam buku “Merambah Jalan Baru Islam” karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendy misalnya gejala pelacuran yang meluas di sebuah desa Jawa Tengah. “Padahal”, kata sang ulama, “berapa banyak hadis Nabi yang melarang pelacuran”. Sang ulama tidak menyadari, bahwa barangkali posisi keulamaannya telah mengantarkannya pada keistimewaan ekonomis. Sementara, penduduk desa tersebut tidak bisa hidup secara riil dengan mempertahankan norma, ketika mereka menghadapi kenyataan kemiskinan yang mendesak. Dengan kata lain, kehidupan dunia jauh lebih kompleks dan lebih nyata daripada yang selama ini diabstraksikan oleh norma-norma agama. Pernyataan, bahwa kemiskinan justru disebabkan oleh ketidakpatuhan kepada agama, seringkali juga menunjukkan gejala cara berpikir yang sama. Sekedar pernyataan bahwa dengan agama, semua persoalan sudah bisa diselesaikan kerap melahirkan simplifikasi masalah-masalah keduniawian yang kompleks.
Demikianlah, kenyataan memang menunjukkan bahwa para da’i biasanya merasa sudah menyelesaikan tugasnya kalau sudah berceramah atau berpidato di majlis-majlis taklim atau di tempat-tempat lain atau kalau sudah berkhotbah di atas mimbar.
Sementara itu materi dakwah kita boleh dikata hanya dari itu ke itu saja, tidak meningkatkan kualitas keislaman umat. Dakwah kita terasa monoton, tunggal nada, rutin, membosankan dan tidak menyentuh problematika penting umat. Khotbah Jumat, yang sebenarnya bisa lebih efektif, karena hampir semua orang Islam mengikuti shalat jumat, juga sayang sekali, telah disia-siakan oleh para khatib dengan khotbah-khotbah yang tidak menarik, tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan, situasi perubahan atau perkembangan masyarakat, tempat dan zaman. Anggapan sementara orang bahwa dakwah kita terlampau banyak memberikan tekanan pada soal-soal akhirat juga tidak benar. sebab masalah akhirat juga belum diungkapkan sebagaimana seharusnya. Dunia-akhirat dakwah kita masih lemah.
Spektrum dakwah memang perlu dan harus diperluas, selain metode, materi dakwah harus dikembangkan. Untuk ini diperlukan perluasan wawasan ilmiah yang tentu akan memakan waktu untuk merekonstruksi pemahamann kita tentang Islam. Masalah ushali, qunut, adzan jumat, jumlah rakaat tarawih dan sejenisnya harus dikesampingkan untuk memberi tempat pada inseminasi, euthanasia, perbankan, pendidikan Islam, media Islam dan sebagainya. Ilmu dakwah seharusnya tidak lagi membicarakan makna “hikmah” dan “mujadalah”, tetapi mengupas psokologi komunikasi, penggunaan media massa, atau pengembangan analisis sistem informasi. Pendeknya kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam selama ini. Mungkin diperlukan sejenis lembaga yang harus mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam sorotan sains dan teknologi mutakhir, memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat, penelitian mana yang patut diprioritaskan atau hal-hal lain yang menyangkut keputusan etis terhadap penerapan sains dan teknologi. Bersamaan dengan itu semua, kita patut mendukung upaya global untuk mengislamkan sains dan teknologi di samping mencari alternatif Islam dalam ekonomi, pendidikan, politik, rekayasa sosial-budaya dan sebagainya.
Fungsi atau peranan da’i memang berat dilaksanakan. Tetapi jika memang sudah demikian tugasnya dan masyarakat pun telah mempercayakan kewajiban itu kepadanya dan lebih-lebih da’i sendiri menerima kepercayaan atau anggapan itu, maka tidak bisa tidak mereka yang dianggap atau mengangap diri sebagai da’i harus memikul tanggung jawabnya itu. Adalah para da’i sendiri yang paling berkepentingan menghapus citra negatif orang mengenai da’i sebagai manusia-manusia dengan perut sedikit gendut yang cuma disibukkan oleh menerima jemputan, berbicara satu jam dua jam (kadang-kadang di beberapa tempat dalam sehari) di depan massa yang sudah siap, dilayani sebaik-baiknya, lalu diantar pulang dengan amplop dan tidak lebih dari itu.
Dakwah kita dalam ungkapan ekstrimnya memang telah gagal. Secara kuantitas, pada skala nasional prosentase jumlah pemeluk Islam menurun. Secara kualitas umat Islam secara umum tidak mengalami perubahan yang menggembirakan. Apa yang selama ini kita anggap sebagai kemajuan, yang sering kita banggakan, sebenarnya terbatas pada dimensi ritual Islam saja, sebagaimana telah beberapa kali dikemukakan oleh Bapak Menteri Agama kita. Padahal, selain dimensi ritual, Islam juga terdiri atas dimensi sosial, ideologikal, mistikal dan intelektual. Dakwah di kalangan suku-suku terasing di pedalaman juga belum mendapatkan penanganan serius.
Para da’i harus sudah mulai memikirkan bidang-bidang garapan tadi yang memang bukan merupakan pekerjaan kecil. Di samping itu ada hal-hal penting lain yang harus dapat ditangani segera yaitu soal-soal yang berkaitan dengan pemerataan dakwah yang juga perlu mendapatkan perhatian serius.
Jumlah kaum muslimin yang mau menghadiri dakwah pastilah lebih sedikit dari mereka yang tidak atau belum mau mengikuti dakwah para da’i. dengan kata lain dakwah kita sebenarnya belum efektif kearena belum mampu menjangkau sebagian besar kaum muslimin. Tetapi apa yang telah dilakukan oleh para da’i dalam masalah yang teramat penting ini? Selama ini kita cuma asyik dalam kesibukan-kesibukan pengajian rutin semisal majlis-majlis taklim atau peringatan hari-hari besar Islam. Dakwah yang dilakukan hanya dalam lingkaran-lingkaran kecil dan terbatas semacam itu jelas amat sangat tidak memadai. Kita harus menembus keluar dari batas-batas itu untuk memasuki kawasan dakwah yang masih jauh lebih luas dan berkiprah di sana. Dakwah Islam mesti memanfaatkan semua jalur dan sarana yang mungkin. Dakwah harus bisa memasuki semua bidang kehidupan yang beraneka ragam. Dakwah harus memiliki kemampuan menggedor dan menyusup ke mana-mana.
Para da’i seharusnya jangan pasif saja, tetapi mereka harus aktif dalam arti mereka mesti berupaya seoptimal mungkin agar dakwah mereka dapat sampai pada atau bisa menjangkau kaum muslimin yang belum mau menghadiri dakwah. Prinsip “santri harus datang pada kiai” sudah tidak layak dipertahankan. Maukah misalnya para da’i mengundang (bukan cuma melulu diundang) atau mengumpulkan orang-orang Islam yang belum mau menghadiri dakwah itu agar para da’i bisa menyampaikan dakwah di hadapan mereka dengan menanggung segala resikonya? Kalau perlu para da’i memang harus berkorban dana, waktu, tenaga dan pikiran. Atau maukah para da’i berdakwah lewat surat, sebagaimana Nabi sendiri melakukannya, agar dakwah mereka dapat menjangkau orang-orang yang tidak dapat dijangkau oleh dakwah dengan cara-cara lain?
Jika para da’i masih enggan melakukan hal-hal semacam itu, orang tentu akan merasa belum dapat melihat perjuangan dan pengorbanan para da’i selain sebagai pencari nafkah belaka! * * *
Search term:
- bentuk dakwah
- amar ma’ruf nahi mungkar
- tazkiyah
- tilawah
- ishlah
- tugas nabi
- mubaligh
- ulul albab
- ta’lim
- khotbah jumat
- materi dakwah
Memperluas Spektrum dan Jangkauan Dakwah
Jalaluddin Rahmat, bentuk dakwah, Amar ma’ruf nahi mungkar, tazkiyah, tilawah, ishlah, tugas nabi, mubaligh, ulul albab, ta’lim, khotbah jumat, materi dakwah, adzan jumat
Barangkali cukup banyak di antara kita yang beranggapan bahwa jumlah tenaga dai di Indonesia cukup banyak. Anggapan ini ada benar dan salahnya. Benar, karena tenaga-tenaga da’i di Indonesia, lepas dari kualitas intelektual dan kepribadiannya, memang cukup banyak. Salah, karena jumlah da’i yang memenuhi syarat, pastilah tidak sebanyak yang kita harapkan.
Menurut Endang Saifuddin Anshari dakwah adalah penjabaran, penerjemahan dan pelaksanaan Islam dalam kehidupan. Pengertian dakwah juga dapat dirumuskan sebagai pelaksanaan amanah Allah SWT, baik amanah khilafah maupun amanah ibadah atau realisasi ajaran Islam dalam kehidupan atau juga islhlah yakni perbaikan dan pembangunan masyarakat.
Dengan mendasarkan diri pada Alquran Jalaluddin Rahmat menyimpulkan empat bentuk dakwah Islam: Tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), Tazkiyah (menyucikan diri mereka), ta’lim (mengajarkan al-kitab dan al-hikmah) dan Ishlah (melepaskan beban dan belenggu-belenggu manusia). Amar ma’ruf nahi mungkar dapat dimasukkan dalam tazkiyah dan menjelaskan yang halal dan haram, termasuk ta’lim. Yang kita perlukan ialah bagaimana membentuk pola dakwah yang secara aqli dapat dilaksanakan. Dakwah adalah tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah usaha besar yang membentuk peradaban manusia.
Seorang da’i dengan demikian, lebih dari sekedar mubaligh, adalah seorang pejuang yang dengan amat bersungguh-sungguh, mengajak manusia ke jalan Allah dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya. Dalam arti ini tenaga-tenaga da’i di Indonesia sama sekali belum dapat dikatakan cukup banyak. Ada pun da’i yang hanya asal pandai berbicara, berpidato atau berceramah karena memang ada bakat untuk itu, dengan kualitas intelektual dan kepribadian yang patut dipertanyakan memang sangat banyak jumlahnya.
Bagaimanakah idealnya seorang da’i? Seorang da’i idealnya adalah seorang ulul albab. Tanda-tanda ulul albab, seperti yang dikemukakan dalam Alquran, ada enam. Pertama: Bersungguh-sungguh mencari ilmu. Kedua: Mereka memiliki hikmah, kebijaksanaan dan pengetahuan. Ketiga: Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang. Keempat: Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain. Kelima: Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakantnya, bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat, diancamnya masyarakat, diperingatkannya mereka kalau terjadi ketimpangan dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan, dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat. Keenam: Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Ulul-albab adalah sama denga intelektual plus ketakwaan, interlektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat dengan Allah SWT (Rahmat, 1986). Da’i seyogyannya termasuk ulul-albab.
Selain jumlah da’i bermutu yang masih sedikit, menurut Drs. H. Ibnu Djarir (Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang) manajemen dakwah kita masih lemah. Sehingga perencanaan dakwah kita pada umunya kurang matang, penggunaan sumber daya kurang efisien dan belum ada badan koordinasi dakwah yang cukup berwibawa. Alat-alat dakwah kita, yang menurut Endang Saifuddin Anshari meliputi: Organisasi, dana, tempat, bahasa dan media memang terasa masih lemah.
Para da’i kita tampaknya memang belum mau bergabung untuk mewujudkan organisasi-oraganisasi yang profesional denga program-program kerja yang terarah dan terpadu. Mereka lebih suka berjalan, bergerak atau bekerja sendiri-sendiri. Agaknya fakto-faktor semacam kesombongan dan ketidakmampuan menjalin jadi kendala utama bagi para da’i untuk berorganisasi.
Da’i-da’i kita juga masih banyak yang menunjukkan sikap konservatif dan kurang simpatik terhadap mas media. Mereka suka membanding-bandingkan majalah dengan kitab kuning misalnya, denagn maksud merendahkan dan meremehkan peranan majalah. Sungguh ironis sekali. Barangkali inilah salah satu sebabnya mengapa hingga hari ini kita masih belum memiliki media massa, koran atau majalah, yang benar-benar berwibawa.
Secara institusional, mungkin harus sudah mulai dipikirkan menyalurkan dana kaum Muslimin infaq, zakat, shadaqah, waqaf dan sebagainnya, untuk kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menggunakan uang untuk pengembangan sistem informasi mungkin lebih bernilai dari pada mengulangi naik haji yang melulu ritual dan mungkin hanya demi kepuasaan pribadi. Para da’i memang fasih dan lancar berbicara tentang kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Tetapi mereka menjadi tak berdaya kalau sudah dihadapkan pada upaya-upaya konkret atau praktis untuk mengatasi masalah-masalah itu. Dalam buku “Merambah Jalan Baru Islam” karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendy misalnya gejala pelacuran yang meluas di sebuah desa Jawa Tengah. “Padahal”, kata sang ulama, “berapa banyak hadis Nabi yang melarang pelacuran”. Sang ulama tidak menyadari, bahwa barangkali posisi keulamaannya telah mengantarkannya pada keistimewaan ekonomis. Sementara, penduduk desa tersebut tidak bisa hidup secara riil dengan mempertahankan norma, ketika mereka menghadapi kenyataan kemiskinan yang mendesak. Dengan kata lain, kehidupan dunia jauh lebih kompleks dan lebih nyata daripada yang selama ini diabstraksikan oleh norma-norma agama. Pernyataan, bahwa kemiskinan justru disebabkan oleh ketidakpatuhan kepada agama, seringkali juga menunjukkan gejala cara berpikir yang sama. Sekedar pernyataan bahwa dengan agama, semua persoalan sudah bisa diselesaikan kerap melahirkan simplifikasi masalah-masalah keduniawian yang kompleks.
Demikianlah, kenyataan memang menunjukkan bahwa para da’i biasanya merasa sudah menyelesaikan tugasnya kalu sudah berceramah atau berpidato di majlis-majlis taklim atau di tempat-tempat lain atau kalau sudah berkhotbah di atas mimbar.
Sementara itu materi dakwah kita boleh dikata hanya dari itu ke itu saja, tidak meningkatkan kualitas keislaman umat. Dakwah kita terasa monoton, tunggal nada, rutin, membosankan dan tidak menyentuh problematika penting umat. Khotbah Jumat, yang sebenarnya bisa lebih efektif, karena hampir semua orang Islam mengikuti shalat jumat, juga sayang sekali, telah disia-siakan oleh para khatib dengan khotbah-khotbah yang tidak menarik, tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan, situasi perubahan atau perkembangan masyarakat, tempat dan zaman. Anggapan sementara orang bahwa dakwah kita terlampau banyak memberikan tekanan pada soal-soal akhirat juga tidak benar. sebab masalah akhirat juga belum diungkapkan sebagaimana seharusnya. Dunia-akhirat dakwah kita masih lemah.
Spektrum dakwah memang perlu dan harus diperluas, selain metode, materi dakwah harus dikembangkan. Untuk ini diperlukan perluasan wawasan ilmiah yang tentu akan memakan waktu untuk merekonstruksi pemahamann kita tentang Islam. Masalah ushali, qunut, adzan jumat, jumlah rakaat tarawih dan sejenisnya harus dikesampingkan untuk memberi tempat pada inseminasi, euthanasia, perbankan, pendidikan Islam, media Islam dan sebagainya. Ilmu dakwah seharusnya tidak lagi membicarakan makna “hikmah” dan “mujadalah”, tetapi mengupas psokologi komunikasi, penggunaan media massa, atau pengembangan analisis sistem informasi. Pendeknya kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam selama ini. Mungkin diperlukan sejenis lembaga yang harus mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam sorotan sains dan teknologi mutakhir, memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat, penelitian mana yang patut diprioritaskan atau hal-hal lain yang menyangkut keputusan etis terhadap penerapan sains dan teknologi. Bersamaan dengan itu semua, kita patut mendukung upaya global untuk mengislamkan sains dan teknologi di samping mencari alternatif Islam dalam ekonomi, pendidikan, politik, rekayasa sosial-budaya dan sebagainya. Kita tentu setuju dengan hal-hal yang dikemukakan Jalaluddin Rahmat itu.
Fungsi atau peranan da’i memang berat dilaksanakan. Tetapi jika memang sudah demikian tugasnya dan masyarakat pun telah mempercayakan kewajiban itu kepadanya dan lebih-lebih da’i sendiri menerima kepercayaan atau anggapan itu, maka tidak bisa tidak mereka yang dianggap atau mengangap diri sebagai da’i harus memikul tanggung jawabnya itu. Adalah para da’i sendiri yang paling berkepentingan menghapus citra negatif orang mengenai da’i sebagai manusia-manusia dengan perut sedikit gendut yang cuma disibukkan oleh menerima jemputan, berbicara satu jam dua jam (kadang-kadang di beberapa tempat dalam sehari) di depan massa yang sudah siap, dilayani sebaik-baiknya, lalu diantar pulang dengan amplop dan tidak lebih dari itu.
Dakwah kita dalam ungkapan ekstrimnya memang telah gagal. Secara kuantitas, pada skala nasional prosentase jumlah pemeluk Islam menurun. Secara kualitas umat Islam secara umum tidak mengalami perubahan yang menggembirakan. Apa yang selama ini kita anggap sebagai kemajuan, yang sering kita banggakan, sebenarnya terbatas pada dimensi ritual Islam saja, sebagaimana telah beberapa kali dikemukakan oleh Bapak Menteri Agama kita. Padahal, selain dimensi ritual, Islam juga terdiri atas dimensi sosial, ideologikal, mistikal dan intelektual. Dakwah di kalangan suku-suku terasing di pedalaman juga belum mendapatkan penanganan serius.
Para da’i harus sudah mulai memikirkan bidang-bidang garapan tadi yang memang bukan merupakan pekerjaan kecil. Di samping itu ada hal-hal penting lain yang harus dapat ditangani segera yaitu soal-soal yang berkaitan dengan pemerataan dakwah yang juga perlu mendapatkan perhatian serius.
Jumlah kaum muslimin yang mau menghadiri dakwah pastilah lebih sedikit dari mereka yang tidak atau belum mau mengikuti dakwah para da’i. dengan kata lain dakwah kita sebenarnya belum efektif kearena belum mampu menjangkau sebagian besar kaum muslimin. Tetapi apa yang telah dilakukan oleh para da’i dalam masalah yang teramat penting ini? Selama ini kita cuma asyik dalam kesibukan-kesibukan pengajian rutin semisal majlis-majlis taklim atau peringatan hari-hari besar Islam. Dakwah yang dilakukan hanya dalam lingkaran-lingkaran kecil dan terbatas semacam itu jelas amat sangat tidak memadai. Kita harus menembus keluar dari batas-batas itu untuk memasuki kawasan dakwah yang masih jauh lebih luas dan berkiprah di sana. Dakwah Islam mesti memanfaatkan semua jalur dan sarana yang mungkin. Dakwah harus bisa memasuki semua bidang kehidupan yang beraneka ragam. Dakwah harus memiliki kemampuan menggedor dan menyusup ke mana-mana.
Para da’i seharusnya jangan pasif saja, tetapi mereka harus aktif dalam arti mereka mesti berupaya seoptimal mungkin agar dakwah mereka dapat sampai pada atau bisa menjangkau kaum muslimin yang belum mau menghadiri dakwah. Prinsip “santri harus datang pada kiai” sudah tidak layak dipertahankan. Maukah misalnya para da’i mengundang (bukan cuma melulu diundang) atau mengumpulkan orang-orang Islam yang belum mau menghadiri dakwah itu agar para da’i bisa menyampaikan dakwah di hadapan mereka dengan menanggung segala resikonya? Kalau perlu para da’i memang harus berkorban dana, waktu, tenaga dan pikiran. Atau maukah para da’i berdakwah lewat surat, sebagaimana Nabi sendiri melakukannya, agar dakwah mereka dapat menjangkau orang-orang yang tidak dapat dijangkau oleh dakwah dengan cara-cara lain?
Jika para da’i masih enggan melakukan hal-hal semacam itu, orang tentu akan merasa belum dapat melihat perjuangan dan pengorbanan para da’i selain sebagai pencari nafkah belaka!